World News

Opini

Latest Post

Lagu Perjuangan

Written By Unknown on Tuesday 29 October 2013 | Tuesday, October 29, 2013


KPU SUMUT TETAPKAN KOMISIONER KPU KABUPATEN/KOTA

Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sumatera Utara akhirnya mengumukan calon terpilih yang menjadi komisioner KPU 26 Kabupaten/Kota di Sumatera Utara periode 2013-2018.  Pengumuman ini berdasarkan hasil rapat pleno komisioner KPU Sumut yang dilaksanakan Minggu (27/10).
Pelantikan ke 130 komisioner KPU kabupaten/kota tersebut dilaksanakan di Hotel Asean Medan, Senin (28/10) yang juga diikuti oleh 4 kabupaten 1 kota dari Kepulauan Nias.

Penetapan komisioner kabupaten/kota di Sumatera Utara khususnya kepulauan Nias periode 2013-2018 menyisakan beberapa kritikan yang layak menjadi perhatian semua pihak, diataranya di Kota Gunungsitoli ke-5 komisioner yg terpilih seluruhnya incumbent (komisioner yg sedang aktif), Sedangkan Nias Utara ada 4 yakni Immanuel Z, Otorius Harefa, Haogolala Gea dan Agustinus Hulu.
Hal itu disampaikan oleh aktifis Agrenis, Yusman Zendrato, menanggapi penetapan komisioner KPU kabupaten/kota yang dilaksanakan di Medan pada hari Senin (28/10) kemarin. Yusman juga menyatakan bahwa semua kabupaten/kota di kepulauan Nias sangat minim mengakomodir keterwakilan perempuan dalam komisioner KPU. Hanya Nias Selatan yang benar-benar memenuhi syarat keterwakilan perempuan. Padahal berdasarkan Pasal 6 ayat (5) UU Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum (Pemilu) disebutkan, komposisi keanggotaan KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%. (Tim)



NAMA2 ANGGOTA KPU se-KEPNI YG DITETAPKAN KPU PROV. SUMUT:
Kabupaten Nias (Induk) :
Abineri Gulo, S.Th
Otahogo Waruwu, SE
Angenano Ndraha
Iman Murni Telaumbanua
Firman Mendrofa

Kabupaten Nias Selatan :
Fansolidarman Dachi
Sumangeli Mendrofa
Irene Mayriska Laowo
Deskarnial Zagoto
Manolododo Daliwu

Kabupaten Nias Barat :
Maranata Gulo
Cakra Eli Gulo
Famataro Zai
Yamanzaro Halawa
Efori Zalukhu

Kabupaten Nias Utara :
Otorius Harefa
Inotonia Zega
Agustinus Hulu
Evorianus Harefa
Haogolala Gea

Kota Gunungsitoli :
Hamdan Telaumbanua, SH
Arifin Telaumbanua, SH
Drs. Aroli Hulu. MM
Asli Zendrato. SH
Sokhiatulo Harefa

GERAKAN MELAWAN KORUPSI DI NIAS

Written By Unknown on Saturday 12 October 2013 | Saturday, October 12, 2013


Perilaku koruptif para pejabat di Nias akhir-akhir ini semakin menjadi bahan perbincangan. Walaupun Indonesia termasuk peringkat 10 besar negara terkorup di dunia namun untuk daerah kepulauan Nias kecenderungan koruptif para pejabat ini baru menjadi bahan pergunjingan semakin luas kurang lebih 10 tahun terakhir ini.
Penahanan Bupati Nias Binahati B. Baeha, SH oleh KPK pada tanggal 11 Januari 2011 yang lalu  menjadi catatan penting dalam sejarah perjuangan melawan korupsi seluruh elemen masyarakat Kepulauan Nias terutama elemen-elemen pergerakan mahasiswa yang hingga saat ini masih terus meneriakkan slogan perjuangannya dijalanan dengan semangat tinggi.
Perjuangan yang dilakoni selama kurang lebih 10 tahun itu akhirnya mendapatkan pintu jawaban yang selama ini terkunci rapat-rapat. Walaupun selama kurun waktu tersebut ada banyak kasus yang dituntut penyelesaiannya kepada pihak-pihak penegak hukum, namun nyaris seperti membentur batu karang yang amat kokoh. Akibatnya banyak dari para “petarung” yang “lelah” dan lebih memilih untuk diam.
Beberapa kasus besar penyelewengan dalam mengelola uang rakyat yang terjadi selama kurun waktu setelah reformasi di Nias telah sampai ke tangan penegak hukum, namun semuanya bagai membentur tembok tebal yang amat kokoh tanpa bisa ditembus walau dengan meriam sekalipun. Ratusan milyar dana yang harusnya dinikmati oleh seluruh masyarakat Kepulauan Nias raib tanpa dapat dipertanggungjawabkan.
Perjalanan selama lebih 10 tahun belakangan ini juga telah mengajarkan kita bahwa kemenangan para ”petarung” bukan karena mereka tidak pernah kalah, akan tetapi karena petarung tidak akan pernah menyerah sebelum menyelesaikan pertarungannya. Beberapa bentuk perjuangan yang pernah silih berganti dan jatuh bangun terbangun baik dalam bentuk forum maupun aliansi telah menjadikan perjuangan rakyat sipil di Kepulauan Nias semakin dewasa. Forum Bersama Pemuda Nias (FBPN) dan Forum Pemuda dan Mahasiswa Nias (Forpaman) merupakan organ-organ perjuangan pada awal-awal tahun 2000-an. Barisan Anak Rakyat Nias (Barani), FKMP2R, Basper dan KS. KAM serta beberapa organisasi-organisasi yang sering menyuarakan tuntutannya dijalanan selain organisasi yang sifatnya Nasional semisal GMNI, GMKI, PMKRI, HMII dan lain-lain. Solidaritas Masyarakat Nias untuk Demokrasi (SOMASI) dibentuk pada Tahun 2005 untuk memotori gerakan moral menyuarakan kasus-kasus korupsi dan perjudian di kepulauan Nias pasca bencana dahsyat 28 Maret 2005. Semua bagai ombak lautan yang timbul tenggelam tanpa hasil yang menggembirakan bahwa kasus-kasus yang diteriakkan dari jalanan merupakan sesuatu kebenaran yang harus dikaji dan diperhatikan penyelesaiannya.
Masyarakat Nias selama ini umumnya menilai apa yang dilaksanakan oleh para “pejuang jalanan”(baca: Parlemen Jalanan) mempunyai berbeda-beda. Demonstrasi di jalanan dengan mengerahkan massa terkadang menjadi bahan pergunjingan negatif yang seolah-olah tidak berarti apa-apa. Kondisi ekonomi, sosial dan budaya serta pendidikan masyarakat Nias yang masih sangat rendah tentu saja sangat mempengaruhi cara pandang dan berpikirnya. Hal inilah yang harus dijawab oleh para pejuang perlawanan korupsi di Kepulauan Nias, karena dengan kondisi ini tentu sangat masih sulit mendorong kesadaran massa untuk melawan korupsi tersebut. Padahal selain menghindari diri dari menyuap para pekerja pemerintahan, cara yg efektif untuk melawan perilaku koruptif para pejabat adalah dengan meneriakkan apa yang telah dikorupsikan dan menuntut para penegak hukum untuk bertindak tegas. Benar, ada juga yg melakukan cara lain yaitu melalui lembaga-lembaga LSM yaitu dengan membuat pengaduan-pengaduan kepada penegak hukum, namun cara ini syarat dengan indikasi main mata kepada para koruptor.
Tantangan lain dari gerakan perlawanan korupsi itu adalah kurangnya pemahaman masyarakat tentang akibat korupsi itu. Bahkan sebagian masyarakat justru terjebak didalamnya. Betapa tidak, terkadang uang hasil korupsi itu banyak yg mengalir ke berbagai lembaga sosial bahkan keagamaan melalui sumbangan tidak terikat dari para pejabat korup. Hal inilah yg akhirnya memuluskan para koruptor untuk terus melakukan aksi-aksi korupsi tersebut.

MENGAPA KORUPSI TUMBUH SUBUR DI NIAS?

Pertanyaan itu tentu saja memang tidak hanya berlaku untuk Nias, sebab negeri ini memang sedang dilanda krisis multidimensi yang salah satunya adalah krisis moral. Celakanya krisis ini justru sangat parah terjadi dikalangan para pemegang kendali kebijakan publik.
Beberapa faktor yang dapat dijadikan asumsi awal mengapa korupsi begitu subur berkembang di Kepulauan Nias mungkin dapat dijadikan landasan kaji yang akhirnya menemukan jawaban pasti. Sejarah rakyat Nias yang diawali dari jaman feodal menunjukkan bahwa sifat yang tunduk pada kekuasaan para ”Si Ulu”. Kekuasaan yang di dapatkan dengan melaksanakan ”Owasa” ini adalah dengan menunjukkan kemampuan memberi makan ribuan orang yang akhirnya melegalkan seseorang untuk menempati tempat terkhusus dalam tatanan kehidupan sosial masyarakat. Legalitas ini diperkuat dengan pemetaan wilayah kekuasaan dalam bentuk ”Öri”. Sungguh suatu proses legalitas yang sama sekali tidak mempunyai filter dalam menguji kualitas seorang pemimpin namun memiliki veto yang cukup tinggi dilingkungan masyarakatnya.
Proses mendapatkan legalitas kedudukan sebagai Si Ulu tersebut merupakan warisan turun temurun yang pada zaman demokrasi sekarang ini bagai perahu terbalik. Jika Si Ulu mendapatkan legalitas singgasananya dengan memberi ”umpan” maka model mendapatkan legalitas kedudukan seperti itu sekarang ini dianggap ”pelanggaran”. Namun karena selama ratusan tahun di masyarakat Nias telah membudaya sistem seperti itu, hingga saat ini secara tidak sadar masih terdapat masyarakat yang menganggap hal-hal yang demikian itu adalah sah.

KEPEMIMPINAN NIAS PASCA PEMEKARAN
Binahati B. Baeha SH yang terpilih menjadi Bupati Nias periode 2001-2006 mengawali kepemimpinannya di kabupaten Nias dibayangi oleh isu money politik. Pilihan lebih setengah dari jumlah anggota DPRD Nias pada saat itu jatuh pada Pasangan Binahati B. Baeha, SH dan Agus Hardian Mendrofa ditengarai mendapat suntikan rupiah yang diberikan kepada Anggota DPRD. Hal ini telah dilaporkan kepada Kejaksaan Negeri Gunungsitoli namun hingga saat ini tidak pernah ada laporan perkembangan kasusnya apakah telah di hentikan (SP3) ataupun belum. Beberapa waktu kemudian kasus-kasus korupsi terus terjadi. Sebut saja misalnya Kasus dugaan korupsi dana bantuan bencana alam tahun 2001-2002, kasus ini terungkap pada hasil penyelidikan Kejaksaan Negeri Gunungsitoli sebagaimana surat laporan Kajari Gunungsitoli kepada Kepala Kejaksanan Tinggi Sumater Utara Nomor : R-LIK15/N.2.21/Dek3/04/2004 tertangggal 24 April 2004 dengan surat pengantar Nomor : TAR-R-22/N.2.21/DEK.3/04/2004 tanggal 26 April 2004. Selanjutnya Pelanggaran Hukum yang dilakukan Bupati Nias pada tanggal 30 April 2002 karena telah mengeluarkan Carry Over  tanpa limit waktu kepada PT. GRUTI  yang berlokasi di Sogawu dan Pulau Pini (sekarang Kabupaten Nias Selatan). Carry Over ini diterbitkan 13 bulan setelah izin HPH berakhir sehingga diperkirakan kerugian negara mencapai milyaran rupiah.
Kasus indikasi penggelapan Dana PSDH Sektor Kehutanan Tahun 2002/2003. Dalam kasus ini Kejaksaan Negeri Gunungsitoli pada tanggal 12 Desember 2003 telah menyuratin ketua DPRD Nias perihal masalah indikasi penggelapan dana PSDH sektor kehutanan. Dalam suratnya tersebut Kejaksaaan Negeri Gunungsitoli menyatakan bahwa berdasarkan hasil pemeriksaan yang telah dilakukan oleh tim Jaksa Penyelidik Kejaksaan Negeri Gunungsitoli telah menemukan indikasi yang kuat terhadap penyelewengan Dana PSDA Sektor Kehutanan dan selanjutnya untuk ditingkatkan  ke tahap penyelidikan. Sebagai hasil dari penyelidikan ini pada tanggal 26 November 2004 Presiden telah menerbitkan surat Izin Pemeriksanaan terhadap Bupati Nias Binahati B. Baeha, SH dengan nomor R56/Pres/XI/2004 perhihal Tindakan Kepolisian Terhadap Bupati Nias Sumatera Utara-Sdr. Binahati B. Baeha, SH. Anehnya oleh Kajari Gunungsitoli Kasus ini diusulkan penghentian Penyidikan Perkara (SP3) kepada Kepala Kejaksaan Tinggi Sumut sehingga pada tahun 2009 yang lalu kasus ini telah di SP3-kan oleh Kejatisu.
Pasca bencana gempa 28 Maret 2005 beberapa kasus besar kembali marak terjadi, diawali dengan kasus korupsi Bantuan dari Menko Kesra No. DIPA 0256.0/069-03.01/2006. Program pemberdayaan masyarakat Nias senilai  Rp. 9,480 M yang bersumber dari APBN  2006 ini disalurkan melalui Badan Koordinasi  Nasional  penanggulangan Bencana  (Bakornas-PB) yang kepanitiannya disinyalir fiktif  dan terjadinya penggelembungan harga menjadi motif korupsi dalam kasus ini.
Penyelewengan  atas pengelolaan APBD Kabupaten Nias TA. 2005-2006 juga sempat menjadi pergunjingan serta protes dari elemen perlawanan korupsi yang ada di kepulauan Nias saat itu. Beberapa item yang menjadi alasan dugaan kuat telah terjadi korupsi pada pengeloaan APBD Kabupaten Nias tahun 2005-2006 adalah : Pengambilan biaya perawatan kesehatan senilai Rp. 36.000.000 yang tidak dilengkapi dengan bukti pengeluaran yang sah, Perjalanan dinas sebesar Rp. 211.000.000.- yaitu 66 kali perjalanan yang tidak dilengkapi SPPD, Pengadaan kendaraan Dinas Pemerintah Kab. Nias sebesar Rp. 5.284.000.000., dilaksanakan tanpa tender (pengumuman) tetapi dilakukan melalui penghujukan langsung. Dalam kasus penyelewengan pengelolaan APBD kabupaten Nias 2005-2006 ini diperkirakan kerugian negara sebesar 56,2 milyar sesuai dengan temuan BPK.
Selain kasus-kasus diatas beberapa kasus lain seperti kasus Pemantapan Pertapakan Kantor Bupati Nias yang diduga terjadi overlap pembiayaan sebesar 2 milyar rupiah, kasus pengadaan kapal penyeberangan yang telah dimuat dalam APBD 2006 sebesar 23 milyar rupiah namun hingga saat ini belum terealisasikan, kasus penyertaan modal pada PT. Riau Airlines sebesar 6 milyar rupiah dan lain-lain.


KEBERPIHAKAN PARA PEMIMPIN
Dari proses legalitas kepempimpinan yang didapatkan pada masa feodal (zamannya para Si Ulu), dengan menggunakan pisau analisa yang tidak terlalu tajam, sebenarnya kita bisa membuat asumsi awal untuk kemudian dijadikan jembatan menuju solusi, seperti apakah keberpihakan para pemimpin rakyat pada masa itu benar-benar untuk massa rakyat. Kelas-kelas masyarakat yang mendapatkan kesempatan kecipratan enaknya kekuasaan itu adalah mereka yang mempunyai kemampuan untuk mempengaruhi Si Ulu. Mempengaruhi dalam hal ini tentunya dengan menggunakan berbagai macam strategi. Namun tentunya sesuai dengan kondisi masyarakat pada masa tersebut. Yang pasti bahwa masyarakat bawah yang tidak mempunyai apa-apa dan hanya mengandalkan tenaga untuk mencari nafkah akan tersisih dari kesempatan tersebut.
Sejatinya kepemimpinan rakyat haruslah berpihak sepenuhnya pada kepentingan dan kebutuhan rakyat. Rakyat yang dimaksud pun harus jelas, yaitu rakyat mayoritas yang terdiri dari petani, buruh dan kaum pekerja lainnya. Jika masyarakat kepulauan Nias dianalogikan sebagai sebuah rumah tangga yang menempati sebuah rumah, maka kepala keluarga wajib mengetahuai kebutuhan mana yang harus diutamakan. Kebutuhan setiap keluarga tentunya merujuk pada pemenuhan kebutuhan pokok seperti sandang, pangan, dan papan. Setelah kebutuhan pokok itu terpenuhi barulah dapat ditingkatkan untuk memenuhi kebutuhan sekunder.


DEMOKRASI, LEMBAGA-LEMBAGA POLITIK, DAN PEMILIHAN UMUM


Demokrasi merupakan suatu wacana yang dikembangkan dengan tujuan menampung aspirasi yang terdapat dalam masyarakat. Demokrasi dalam bentuknya yang pertama dikembangkan dalam masyarakat Yunani sebagai suatu sistem pemerintahan negara kota yang melibatkan peran dari banyak orang. Dewasa ini demokrasi diartikan pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat. Rakyat berdaulat, pemikiran dasarnya kedaulatan berada di tangan rakyat.

Saat rakyat melimpahkan haknya kepada lembaga-lembaga negara untuk dapat terwujudnya kesejahteraan, kedamaian dan ketertiban. Hal ini menjadi konsep dasar dari suatu negara yang menganut sistem demokrasi yaitu sistem keterwakilan.

Pada negara-negara modern tak satupun yang tidak memiliki lembaga-lembaga demokrasi. Tetapi apakah dengan sendirinya negara yang memiliki lembaga-lembaga demokrasi itu menjadi sebuah negara yang demokratis? Lembaga-lembaga demokrasi memang penting bagi pemerintahan demokratis, tapi tidak identik dengan sifat demokratis itu sendiri. Lembaga-lembaga demokrasi bisa tidak berfungsi apabila proses pembentukannya salah dan pengelolaannya tidak sesuai dengan mandat dan harapan rakyat yang diberikan kepadanya.

Indonesia sedang mengalami era-transisi dari otoriter fasis Soeharto (Orde Baru) ke arah perwujudan demokrasi seutuhnya. Jaman Orde Baru telah memangkas rasionalitas demokrasi dan mematikan aspirasi-aspirasi rakyat dengan salah satunya menyalahgunakan instrumen negara seperti TNI-POLRI yang seharusnya bertanggung jawab untuk melindungi dan melayani kepentingan rakyat malah dijadikan sebagai lembaga yang menindas dan membunuh rakyat.

Kini, dalam masa reformasi telah muncul perubahan-perubahan, seperti adanya kebebasan pers, perubahan Undang-undang Dasar 1945 yang menghasilkan kedaulatan rakyat bukan lagi di tangan MPR melainkan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-undang Dasar 1945 yang dampaknya dipilihnya presiden dan wakil presiden secara langsung, lahirnya lembaga-lembaga baru seperti Mahkamah Konstitusi dan Dewan Perwakilan Daerah. Diharapkan lembaga-lembaga tersebut dapat menjawab permasalahan-permasalahan bangsa ini.

Namun apakah Reformasi yang saat ini sedang berlangsung sudah mampu menjadi kendaraan bangsa Indonesia untuk menuju masyarakat yang adil dan makmur seperti yang dicita-citakan oleh bangsa semenjak jaman penjajahan? Ternyata jawabannya adalah tidak!!! Reformasi sesuai dengan arti katanya hanyalah pergantian orang-orang dalam jajaran pemerintahan, bukan mengubah cara kerja dari pemerintah itu sendiri. Reformasi sering sekali diidentikkan dengan kemenangan yang ditandai dengan kejatuhan Soeharto, padahal jika kita amati secara lebih mendalam lagi, jelas bahwa Soeharto belum pernah dikalahkan atau dijatuhkan oleh siapapun. Bahkan sampai saat ini, ketika ia sudah meninggal dunia sekalipun, kekuasaan dan kekuatannya dalam sistem pemerintahan dan hukum Indonesia masih tertancap dengan utuh, hal ini dibuktikan dengan belum pernah tersentuhnya Soeharto oleh lembaga hukum dan peradilan. Belum ada satupun kasus korupsi dan pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia) yang dilakukan oleh Soeharto yang terungkap. Keluarga cendana masih menjadi keluarga keraton yang ditakuti oleh seluruh instansi hukum Indonesia.

Belum lagi keadaan bangsa yang masih sangat mengenaskan, jumlah rakyat miskin yang besar, pengangguran yang terus meningkat, upah buruh yang tidak layak utuk hidup, pendidikan dan kesehatan yang semakin tidak terjangkau, hutang luar negeri yang sangat besar, korupsi-kolusi-nepotisme (KKN) yang merajalela serta belum tegaknya supremasi hukum. Itu semua cermin dari hilangnya modal sosial bangsa Indonesia saat ini.

Tidak berjalannya Reformasi secara efektif juga di karenakan tidak adanya tekad bersama oleh elit politik untuk membangun bangsa. Perebutan kekuasaan dan hanya mementingkan kelompoknya membuat transisi demokrasi berjalan lambat. Era reformasi bukan dijadikan fase perubahan melainkan dipakai untuk ajang KKN gaya baru mulai dari tingkat pusat hingga daerah. Praktek KKN kini terdapat dimana-mana seperti di DPR, DPRD, lembaga-lembaga birokrasi, bahkan yang paling mengenaskan KKN yang dilakukan oleh lembaga-lembaga hukum.

Pokok permasalahan bangsa ini adalah penegakan hukum yang tidak berjalan dan lembaga-lembaga negara yang tidak bekerja secara efektif, selain itu juga permasalahan-permasalahan di bidang ekonomi. Lahirnya Mahkamah Konstitusi (MK) diharapkan dapat menjadi lembaga yudikatif yang dapat menyelesaikan permasalahan ketatanegaraan. Kewenangan MK seperti menguji undang-undang memutuskan sengketa antar lembaga-lembaga negara, memutuskan pembubaran partai politik, memutuskan perselisihan hasil pemilu, serta memberi putusan apakah presiden melakukan pelanggaran hukum. Dengan kewenangan-kewenangan itu posisi MK sangat strategis untuk mengawal tegaknya Undang-Undang Dasar 1945.

Adanya Dewan Perwakilan Daerah (DPD) diharapkan pula dapat memperjuangkan aspirasi daerah-daerah yang selama ini kurang diperhatikan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Harapan terhadap DPR untuk berperan sebagai wakil rakyat yang sebenarnya masih jauh dari harapan rakyat, ini disebabkan anggota DPR lebih mementingkan kepentingan partai politiknya.

Menyoritas peran lembaga-lembaga seperti MK, Kejaksaan, dan Kepolisian yang seharusnya menjadi tempat di mana keadilan itu ditegakkan, belum sesuai harapan karena kinerja lembaga-lembaga tersebut terbilang buruk dan rentan dengan praktek-praktek KKN.

Dengan adanya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harapan untuk menyeret pelaku-pelaku korupsi ke meja hijau sangat ditunggu oleh masyarakat. Dukungan pada lembaga ini oleh presiden adalah syarat mutlak apabila ingin memberantas praktek KKN dengan serius. Namun juga rakyat harus tetap waspada dan mengawasi kinerja KPK agar tidak menjadi wadah yang dipergunakan sebagai tempat negosiasi politik dimana yang diberantas hanyalah lawan-lawan politik dari penguasa saja tetapi harus menadi wadah yang memberantas tindak pidana korupsi di setiap jajaran instansi pemerintah. Memang tidak mudah memberantas praktek KKN yang sudah begitu luasnya terjadi di mana-mana, namun kunci keberhasilannya adalah penegakan hukum.

Dalam negara demokratis dibutuhkan wadah yang dinamakan partai politik (Parpol). Partai politik berperan sebagai instrumen demokrasi yang idealnya dapat mengartikulasi kepentingan-kepentingan yang ada di dalam masyarakat dalam bentuk-bentuk kebijakan publik. Dengan demikian fungsi partai politik akan tercapai dan ini sekaligus eksistensi partai politik akan betul-betul diperlukan oleh masyarakat. Namun kondisi rill yang terjadi saat ini partai politik lebih cenderung pada hal-hal yang bersifat memobilisasi massa dari pada memberikan pendidikan politik yang rasional. Partai Politik harus mampu menjadi wadah yang menampung aspirasi dan harapan rakyat serta menjadi motor penggerak yang mewujudkan harapan tersebut.

Dalam politik  untuk memperebutkan kekuasaan hal itu sah-sah saja, akan tetapi tetap harus mengikuti aturan-aturan main demokrasi, yang dimaksud demokrasi di sini adalah demokrasi yang lebih mengedepankan kualitas bukan kuantitas atau mayoritas belaka.

Dalam hal ini Partai Politik memiliki kendaraan untuk bergerak dan mewujudkan segala cita-cita demokrasi yaitu PEMILU (Pemilihan Umum). PEMILU sering disebut-sebut sebagai ajang pesta demokrasi bagi rakyat. Karena pada saat berlangsungnya PEMILU ini, rakyat diberi kewenangan untuk menentukan pemimpin mereka sendiri. Pemimpin yang mereka percayai untuk mengemban tugas mensejahterakan rakyat, bukanlah pemimpin yang hanya tahu duduk dan membesarkan perut mereka saja.

Namun sangat disayangkan hingga saat ini, partai politik masih saja terjebak dengan perebutan kekuasaan saja, pada saat-saat menjelang PEMILU selalu diadakan masa untuk kampanye atau dalam bahasa sehari-harinya bisa dikatakan masa promosi bagi partai politik. Orang-orang yang berkampanye dengan membawa bendera partai politiknya masing-masing saat itu seolah-olah ingin menjadi juruselamat bagi rakyat, semua menjanjikan akan melindungi hak-hak rakyat dan mensejahterakan kehidupan bangsa, entah itu dengan janji mengratiskan biaya pendidikan dan kesehatan atau hal lainnya yang sering dikeluhkan rakyat sebagai kesusahan dan penderitaan mereka.

Bahkan demi terwujudnya hasrat partai menjadi penguasa di negeri ini, kecurangan-kecurangan dalam pemilihan pun dihalalkan. Hal inilah yang harus diantisipasi oleh lembaga-lembaga yang terkait langsung dengan PEMILU baik penyelenggara maupun pengawasnya. Semua hal harus diantisipasi demi terwujudnya sebuah demokrasi di bumi pertiwi yang tecinta ini.

Bedasarkan Undang-Undang Republik Indonesia nomor 22 Tahun 2007 tentang penyelenggara pemilihan umum maka Komisi Pemilihan Umum ditetapkan sebagai penyelenggara PEMILU dengan wilayah kerja meliputi seluruh wilayah Kesatuan Republik Indonesia dan melaksanakan tugasnya secara berkesinambungan serta bebas dari pengaruh pihak manapun berkaitan dengan pelaksanaan tugas dan wewenangnya.

Berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang dasar Neagra Republik Indonesia Tahun 1945, PEMILU adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang diselenggarakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Penyelenggara PEMILU harus mampu mengakomodir segala asas PEMILU tersebut demi menjaga kemurnian suara rakyat dan kredibilitas bangsa dimata rakyatnya sendiri. Penyelenggara PEMILU harus benar-benar menyeleksi calon-calon pemimpin bangsa. Pemimpin yang tidak menganggap remeh rakyat ketika ia sudah menduduki tampuk kekuasaan, pemimpin yang harus ditakuti dan disembah oleh rakyat. Melainkan calon pemimpin itu haruslah orang-orang yang sadar akan pengaruh rakyat akan dirinya, orang-orang yang sadar bahwa pemimpin dan rakyat harus saling menghargai dan menghormati.

Meskipun sebenarnya kualitas dari para calon pemimpin tersebut tidak dapat dipastikan pada saat penyeleksian melainkan pada saat ia sudah sah menjadi seorang pimpinan, namun ketelitian dalam penyeleksian memiliki peranan penting. Penyelenggara PEMILU harus melihat bagaimana kredibilitas seseorang itu sebelum ditentukan layak atau tidak untuk dipilih rakyat. Hal ini perlu agar para penjahat birokrasi tidak bisa seenaknya menancapkan kuku pada sistem pemerintahan kita. Oleh karena itu penyelenggara PEMILU perlu menjaga kredibiltasnya sebagai lembaga yang mempersiapkan dan melaksanakan proses perwujudan demokrasi dan kedaulatan rakyat dengan senantiasa berpedoman pada asas mandiri, jujur, adil, kepastian hukum, tertib penyelenggara Pemilu, kepentingan umum, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas, akuntabilitas, efesiensi, dan efektivitas.

Selain penyelenggara, pengawas pemilihan juga sangat penting bertindak sebagai lembaga yang jujur dan tegas.Secara bersama-sama, penyelanggara dan pengawas bekerja secara jujur dan transparan dan menindak segala kecurangan yang terjadi tanpa memberi ampun pada siapapun atau partai politik manapun.

Kedua lembaga inilah yang harusnya mampu menjaga kemurnian suara rakyat agar pemimpin yang terpilih kelak adalah pemimpin yang menjadi tangan rakyat untuk bekerja mensejahterakan bangsa, segalikus mengajari rakyat untuk sadar akan pentingnya memilih pemimpin yang berkualitas. Karena demokrasi bukanlah suatu hal yang bisa terwujud dengan sendirinya. Demokrasi juga bukan sesuatu yang baku yang mempunyai hukum jadi seperti ilmu pasti, melainkan demokrasi adalah sebuah proses perwujudan kepentingan rakyat dan akan selalu berubah sesuai dengan berubahnya kepentingan dan kebutuhan rakyat. Karena pedoman demokrasi hanya satu yaitu DARI RAKYAT, OLEH RAKYAT, DAN UNTUK RAKYAT !!!!!!!!!!!!

Untuk itu waktu yang tersisa menjelang pelaksanaan Pemilihan Legislatif dan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden ini harus dipergunakan sebagai masa yang efektif menyeleksi calon pemimpin bangsa agar kelak rakyat tidak menggerutu dan mengutuk para pemimpinnya sendiri. Karena Penyelenggara dan Pengawas Pemilihan adalah tangan dan mata rakyat untuk tercapainya kedaulatan rakyat yang seutuhnya. HIDUP RAKYAT!!!!!
        


MEDIA SOSIAL MERAMBAH TANAH NIAS

Written By Unknown on Friday 11 October 2013 | Friday, October 11, 2013


Pengguna Media sosial terutama Facebook di Kepulauan Nias meningkat tajam. walaupun jaringan internet di kepulauan Nias masih sangat terbatas namun dengan adanya produk telepon genggam dengan layanan online, masyarakat sdh bisa menggunakan media sosial dari daerah pedalaman sekalipun.
pada awalnya pengguna Media sosial di kepulauan Nias sangat terbatas pada sebagian kecil komunitas pelajar dan mahasiswa serta para pegawai kantoran, itupun penggunaannya hanya sekedar untuk saling sapa, guyon2nan, ada juga yg menyalurkan hobi menulis kata2 puitis, bahkan doa juga seringkali disampaikan lewat media yg sedang booming ini.
Namun belakangan ini penggunaan media sosial semakin beragam dan fokus pada ha-hal tertentu yg lebih bermanfaat.
Menjelang Pemilu 2014 misalnya para caleg yang menggunakan media sosial untuk memperkenalkan diri serta tujuannya untuk menjadi wakil rakyat,
Keresahan/kejengkelan menyaksikan tingkah laku para pejabat korup seperti tak dapat dibendung dengan adanya media sosial. dari yg menyampaikan secara halus hingga sumpah serapah dan kutukan kasar sekalipun tertumpah dalam media sosial.
Grup2 yg memfokuskan diri pada hal2 tertentu semakin ramai dan yg sangat populer terakhir ini adalah kritik2 sosial terhadap segala bentuk ketidak beresan yg terjadi.
Sejarah telah membuktikan bahwa media sosial saat ini dapat menjadi sarana menggalang kekuatan massa untuk meruntuhkan dinasti kekuasaan sekalipun, contoh yg terjadi di Mesir beberapa waktu lalu yg akhirnya melengserkan kekuasaan hampir setengah abad Hosni Mubarak. Media sosial terlahir bagai media alternatif tanpa batas yg dapat meruntuhkan sekat2 yg selama ini begitu kuat.
Melihat fenomena ini sebuah mimpi terbersit, semoga media sosial ini dapat menjadi sarana tranformasi kesadaran yg semakin kritis bagi semua orang, karena dalam masa yg semakin kacau ini, kesadaran kritis masyarakat sangat menentukan agar sistem korup yg telah merasuk kedalam seluruh aspek kehidupan sosial kita, bisa diredam.
Selain Media Sosial, media-media informasi online juga berkembang, baik yg bersifa lokal maupun media nasional yg menyertakan informasi2 kedaerahan semacam kepualaun Nias. Hal ini ditandai dengan lahirnya beberapa media online yg menjadikan jalur informasi semakin cepat.

MENYOAL KEIKUTSERTAAN PEMUKA AGAMA DALAM POLITIK

Written By Unknown on Friday 4 October 2013 | Friday, October 04, 2013


(Sebuah catatan menjelang Pemilu)


Benarkah suara rakyat adalah suara Tuhan? dalam situasi perpolitikan negeri ini pertanyaan ini sepertinya sangat sulit untuk dijawab. Proses pemilihan untuk para pemimpin politis seperti presiden, gubernur, bupati/walikota dan anggota legislatif yang saat ini dipilih secara langsung, justru menuai berbagai masalah. Lihat saja pada pilkada diberbagai daerah di Indonesia, Pilkada selalu menuai protes dari kandidat yang kalah, bahkan korban jiwapun berjatuhan dan rakyat kecil jugalah yang paling terakhir selalu menanggung akibatnya.
Semboyan “suara rakyat adalah suara Tuhan” mulai dikampanyekan pada zaman Yunani kuno. Hal ini dilakukan untuk meyakinkan rakyat bahwa pilihan mereka adalah yang harus diakui dan menjadi tolak ukur dalam menjalankan kebijakan pemerintahan. Semboyan ini secara implisit menggandeng ranah kepercayaan (agama) untuk memuluskan pengakuan publik pada kekuasan politik. Sejak itu semboyan Vox Populis Vox Dei menjadi kekuatan baru untuk mengkampanyekan sistem pemerintahan yang “katanya” demokratis.
Semboyan ini juga telah menyeret para pemuka agama untuk terjung ke dalam kubangan dunia politik yang seharusnya mereka jauhi. Sejarah telah membuktikan bahwa keikutsertaan para pemuka (bukan pemimpin) agama dalam ranah politik menjadi perdebatan panjang yang tak kunjung padam. Persoalan paling hakiki yang selalu menjadi perdebatan adalah bahwa selayaknya agama sebagai sebuah lembaga seharusnya bebas dari pengaruh kekuasaan politik. Alasannya bahwa tujuan dari kedua lembaga ini sangat berbeda. Namun pada kenyataanya para pelayan Tuhan yang bekerja pada lembaga-lembaga Agama banyak yang melayani di ladang politik.
Suara rakyat adalah suara Tuhan sepertinya dijawab oleh para pelayan Tuhan dengan ikut dalam ranah politik dan kekuasaan. Kedua lembaga ini sebenarnya bertujuan untuk memenuhi kebutuhan rakyat. Negara bertujuan memenuhi kebutuhan jasmani (sandang, pangan dan papan) sementara agama bertujuan memanuhi kebutuhan Rohani. Pada zaman Romawi dan Yunani kuno para penguasa dikenal sebagai titisan Tuhan sehingga kekuasaan mereka merupakan kekuasaa absolut. Dinasti-dinasti besar dalam sejarah merupakan kekuasaan turun-temurun yang selama ribuan tahun menjadi sebuah kebenaran. Namun akhirnya kesadaran akan sebuah kekuasaan politik rakyat tidak lagi mengakuinya. Hal inilah yang melahirkan sistim demokrasi yang hingga saat ini menjadi slogan dalam menjalankan sebuah negara.
Kenyataannya sistem pemerintahan demokratis yang mengkampanyekan kekuasaan dari, oleh dan untuk rakyat hingga saat ini belum juga dapat terimplementasikan sepenuhnya. Slogan suara rakyat adalah suara Tuhan belum banyak memberi pengaruh untuk mencapai kekuasaan yang berkedaulatan rakyat. Kekuasaan yang dijalankan dengan sistem demokrasi lebih mirip kediktatoran. Negara terus menjadi alat penindas bagi rakyat kecil yang merupakan warga negara terbanyak. Hal inilah yang mendorong para pemuka agama berkeinginan untuk terjun dalam ranah politik dengan asumsi bahwa agama dapat menjadi penengah ketegangan kekuasaan dengan rakyat.
Pemilu hanya menjadi ajang memperebutkan kekuasaan politik. Mesjid, Gereja, Vihara dan tempat2 ibadah lainnya menjadi ramai karena hiruk pikuk kampanye. Misi-misi kampanye para pemburu kekuasaan menjadi gaung dalam rumah ibadah yang dibungkus rapi dengan slogan-slogan ketuhanan.
Dapat dipahami bahwa ketika ranah agama digunakan untuk mempengaruhi rakyat dalam memilih, tentu sangat besar pengaruhnya. Rakyat Pemilih yang rata-rata pendidikan politiknya masih relatif rendah sangat rentan untuk dipengaruhi, apalagi dengan menggunakan nama Tuhan. Seharusnya para pemuka agama dapat menyadari hal ini. Suara rakyat adalah suara Tuhan bukan berarti bahwa para pelayan di ladang Tuhan harus ikut serta dalam mempengaruhi rakyat untuk memilih seseorang. Kalaupun Tuhan berkeinginan untuk menunjuk seseorang untuk menjadi pemimpin rakyat, pasti Tuhan punya cara sendiri untuk menjadikannya sebagai pemimpin.
Bukankah sebaiknya ketika para pelayan Tuhan mendoakan para calon pemimpin ini agar pada saat rakyat menunjuk mereka sebagai pemimpin maka Tuhan dapat memberikan hikmat kebijaksanaan dalam memimpin serta membersihkan jiwa para pemimpin ini dari semua sifat  tercela. Do’a seharusnya menjadi kekuatan para pemuka agama dalam meminta petunjuk Tuhan agar para pemimpin yang terpilih adalah pemimpin yang benar-benar memihak rakyat kecil. Inilah harapan terbesar rakyat dari para pemuka agama. Seharusnya mereka lebih fokus dalam memimpin spiritual rakyat untuk menentukan pilihan, bukan dengan mengundang para calon kedalam gereja, mesjid, vihara dsb. Ketaatan seorang pemimpin kepada Tuhan tidak semestinya diukur pada saat menjelang Pemilu karena iklim politik sangat mendominasi psikologi semua pihak apalagi para calon.

Pemimpin yang taat kepada Tuhan seharusnya dibuktikan  dengan keberpihakannya pada kepentingan rakyat kecil. Namun untuk menentukan siapakah diantara para calon yang ada sekarang ini yang memenuhi kriteria tersebut, tentu untuk menjawab hal inilah kita sangat membutuhkan pertolongan Tuhan agar kita semua tidak salah memilih. Dalam hal inilah kita sangat membutuhkan dukungan dari para pemuka agama agar memimpin kita untuk memohon pertolongan dari Yang Maha Kuasa agar kita tidak salah memilih pada saat Pemilu nanti. Politik uang yang sedang marak dilakukan untuk memenangkan para kandidat juga menjadi salah satu permohonan kita agar rakyat dapat memilih pemimpinnya bukan karena diberikan uang. Semoga Doa dan permohonan kita semua dapat dikabulkan oleh Yang Maha Kuasa.



Health